Minggu, 05 Mei 2013

SUKU TENGGER DI BROMO




Asal Usul suku Tengger


Tengger, suatu dataran tinggi di Jawa Timur, kerap dikaitkan dengan nama suku setempat yakni suku Tengger. Asal usul suku Tengger sendiri jika dikilas balik kembali berawal pada suatu waktu di masa pemerintahan dinasti Brawijaya  di Majapahit. Alkisah bergembiralah sang ratu dikaruniai anak yang saat lahir tidak menangis seperti lazimnya anak baru lahir. Oleh karena keistimewaannya itu, bayi tersebut diberi nama ” RORO ANTENG “. Sementara itu di sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana / Pandhita baru saja melahirkan seorang putra yang fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, dan karenanya bayi tersebut diberi nama ” JOKO SEGER “.
Ketika beranjak dewasa, keduanya pun saling jatuh cinta, sementara itu situasi di kerajaan Majapahit sedang terjadi kemerosotan moral para pejabat kalangan istana yang berbuah kemunduran kerajaan. Beberapa orang kepercayaan istana dan sebagian keluarganya memutuskan pergi kewilayah timur. Dan sebagian besar hijrah ke kawasan pegunungan Bromo – Semeru, termasuk Roro Anteng dan Joko Seger. Sekian lama mereka memimpin rakyat d wilayah ini, hati mereka masih saja merasa hampa dan sedih karena belum dikaruniai seorang pun anak. Pergilah Joko Seger dan Roro Anteng bersemedi di puncak gunung Bromo, akhirnya harapan mereka pun dikabulkan Hyang Kuasa..
Terlihatlah suatu pertanda lidah api yang bersinar keluar dari kawah gunung, yang mana hal ini menjadi pertanda yang menyatakan mereka akan hidup sejahtera, beranak – pinak hingga seluruh keturunannya memenuhi kawasan tersebut. Dalam hati mereka mengucap syukur kepada Sang Murbeng Pasti dan mengucap kaul akan mengorbankan putra bungsunya ke gunung tempat mereka bersemedi. Kemudian Roro Anteng mengandung anak pertama yang berjenis kelamin laki-laki diberi nama temenggung Klewung, tak terasa waktu berjalan sekian lama. Roro Anteng dan Joko Seger dikaruniai 25 orang anak laki-laki, yang bungsu diberi nama Raden Kusuma.
Setelah mereka dikaruniai sekian banyak anak, tiba saatnya mereka harus mengorbankan si bungsu. Tetapi mereka tidak tega melakukannya terhadap sang anak yang begitu dikasihi. Singkat cerita, mereka tidak pernah melaksanakan kaulnya itu, justru bersama keduapuluhlima anaknya, Joko Seger dan Roro Anteng mencoba bersembunyi, dengan si bungsu diletakkan di tengah – tengah di antara saudara – saudaranya. Namun tanpa disangka – sangka, pada bulan Kasada, gunung tempat Roro Anteng dan Joko Seger bersembunyi mengeluarkan api, yang bahkan menjilat dan menyeret Raden Kusuma putera bungsunya itu ke dalam kawah.
Selesai bencana tersebut, terdengarlah suara gaib yang berkata :” Hai saudara-saudaraku yang masih hidup, hiduplah rukun dan abadi, biarlah saya Dewa Kusuma menghadap Hyang Kuasa mewakilkan saudara-saudara sekalian untuk memenuhi janji orangtua kita kepada Hyang Kuasa, ingatlah selalu tiap bulan Kesada, kenanglah dengan mengirim hasil tani kalian. ” Sampai sekarang adat istiadat ini dilakukan secara turun menurun menjadi upacara yang digelar dengan nama UPACARA KASADA. Nama suku Tengger sendiri merupakan gabungan kata dari nama Roro anTENG dan joko seGER, leluhur suku Tengger yang bermukim di wilayah Bromo-Tengger-Semeru. Seperti sifat masyarakat suku Tengger, Tengger pun bermakna TENGGER ING BUDI LUHUR yang berarti : Tempat Tinggalnya Orang – Orang Yang BERBUDI LUHUR.

Sistem Kebudayaan Suku Tengger.
Menurut C Kluckhon dalam bukunya categories of culture menemukakan sistem kebudayaan yang secara Universal dimiliki oleh seluruh masyarat didunia, yang unsur-unsurnya meliputi sistem bahasa , sistem kesenian, sistem teknologi, sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan dan sistem mata pencarian. Pada masyarakat suku Tengger Unsur-unsur kebudayaan universial itu sebagai berikut :
1. Sistem Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh suku tengger adalah bahasa jawa tapi dialek yang digunakan berbeda yaitu dialek tengger. Dialek tengger dituturkan di daerah gunung brom termasuk di wilayah pasuruan, probolinggo, malang dan lumanjang. Dialek ini dianggap turunan bahasa kawi, dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tidak digunakan dalam bahasa jawa modern.
1. Sistem Kesenian
- Seni Tari
Tari yang biasa dipentaskan adalah tari Roro Anteng dan Joko Seger yang dimulai sebelum pembukaan upacara Kasada.
- Seni bangunan
Bangunan untuk peribadatan berupa pura disebut punden, danyam, dan poten. Poten adalah sebidang tanah dilautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten dibagi menjadi tiga mandala atau zone yaitu :
1. mandala utama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan yang terdiri dari padma, bedawang, nala, bangunan sekepat, dan kori agung candi bentar.
2. mandala madya atau zone tengah, disebut juga jaba tengah yaitu tempat persiapan pengiring upacara yang terdiri dari kori agung candi bentar bale kentongan, dan Bale Bengong.
3. mandala nista atau zone depan, disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralhian dari luar kedalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar dan bangunan penunjang lainnya.

 Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat tengger menjungjung tinggi nilai persamaan, demokrasi, dan kehidupan masyarakat, sosok seorang pemimpin spritual seperti duun lebih disegani dari pada pemimpin administratif. Masyarakat tengger memunyai hukum sendiri diluar hukum formal yang berlaku alam negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur an mengendalikan berbagi persoalan dalam kehidupan masyarakatnya.

Sistem Pengetahuan
Sistem Pengetahuan masyarakat tengger pada umumnya masih tradisional, an masih berorientasi paa kebudayan lama, namun karna aanya pengaruh dari luar melalui pariwisata maupun komunikasi maka sistem pengetahuannya sudah mulai mengacu ke sistem pengetahuan yang modern.

Sistem Mata Pencarian
Sistem mata pencarian masyarakat suku tengger kebanyakan adalah petani dan penambang, tanaman yang diusahakan adalah sayur-sayuran sedangakan dalam hal penambangan, yang ditambang adalah pasir dan belerang.



Read More ->>

SUKU DAYAK DI KALIMANTAN



Asal mula

Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.





Tradisi Penguburan Suku Dayak

Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)
Suku Dayak Benuaq :

  • lubekng (tempat lungun)
  • garai (tempat lungun, selokng)
  • gur (lungun)
  • tempelaaq dan kererekng



Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

  • penguburan tahap pertama (primer)
  • penguburan tahap kedua (sekunder).



Penguburan primer

  • Parepm Api (Dayak Benuaq)
  • Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

  • dikubur dalam tanah
  • diletakkan di pohon besar
  • dikremasi dalam upacara tiwah.



Konflik 


Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen. Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas. Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.


Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Adat Dayak

Meskipun banyak orang berbicara mengenai kebudayaan Dayak, namun sedikit sekali yang mempublikasikannya secara tertulis. Aspek sosial ekonomi dalam kebudayaan Dayak memang belum banyak diteliti dan diketahui orang, karena dinamika kehidupan sosial orang Dayak lebih menonjol daripada kehidupan ekonominya. Padahal aspek sosial dan as- pek ekonomi adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam kebudayaan. Sebab kehidupan sosial mempengaruhi ekonomi dan sebaliknya. Apakah benar bahwa orang Dayak lebih mementingkan hal-hal sosial daripada hal-hal ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat atau lebih suka “bersosial” daripada “berekonomi?. (M.J. Akin Alif, 1997, Mencermati Dayak Kanayant, Institut Dayakologi, Pontianak).
Secara eksplisit dapat digambarkan bahwa kehidupan Masyarakat Adat Dayak di perkampungan masih sangat mementingkan aspek sosial dibanding ekonomi. Meski demikian, harus diakui bahwa semakin hari kepentingan ekonomi lebih mendominasi terutama karena sifat konsumtif yang semakin besar. Berikut adalah kondisi sosial-ekonomi Masyarakat Adat Dayak di beberapa subsuku Dayak, diantaranya Dayak Jalai, Pompankg, Kanayant, Simpang dan Dayak Bukit. Semua paparan ini diambil dari hasil riset Institut Dayakologi yang tertuang dalam beberapa buku.
Dari hasil pengamatan di lapangan, sumber mata pencaharian Masyarakat Adat Dayak Pompakng dapat digambarkan sebagai berikut :
  1. Ladang, Ladang bagi Masyarakat Adat Dayak Pompakng merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pangan yang dilakukan dari turun-temurun. Di ladang ditanam padi sebagai tanaman utama. Sedangkan tanaman-tanaman lainnya adalah berbagai jenis sayur-mayur, jagung, ketela pohon dan ketela rambat, keladi, jahe, lengkuas, dan sebagainya.
  2. Karet, Karet yang ada di wilayah ini merupakan karet alam. Karet ini ditanam di ladang setelah selesai panen padi. Pola-pola pengelolaan kebun karet tidak dilakukan secara monokultur tetapi ditanam bersama dengan pohon buah-buahan, dan pepohonan hutan lainnya dibiarkan hidup bersamaan dengan pohon karet itu. Karet yang demikian dapat bertahan sampai 50-60 tahun, dan setelah itu dapat diladangi kembali untuk dua periode perladangan dengan selang waktu satu tahun. Setelah itu, ditanami kembali dengan karet muda. Karet dijual ke pasar lokal dalam bentuk unsmoke sheet dan jinton (nomor dua) untuk memperoleh uang tunai.
  3. Kerajinan, Kerajinan bagi Masyarakat Adat Dayak Pompakng, adalah bagian dari hidup mereka. Kerajinan ini biasanya dikerjakan saat waktu senggang yang merupakan pekerjaan sampingan/tambahan, terkecuali sudah tidak mampu lagi bekerja di ladang. Khusus untuk penduduk di kampung Kamokng dan Borakng, kerajinan anyam-anyaman merupakan salah satu sumber penghasilan mereka. Kerajinan anyam-anyaman bernuansa motif Dayak yang dihasilkan mereka selain dapat dijadikan sumber penghasilan juga merupakan ciri khas mengingat beberapa di kampung lain yang juga bagian dari Masyarakat Adat Dayak Pompakng tidak menggeluti kerajinan tersebut. Hasil kerajinan, tersebut mereka pasarkan ke Kota Sanggau dan seluruh pesisir Sungai Kapuas hingga ke Meliau dengan menggunakan alat transportasi motor tempel, bahkan hingga ke Ibu Kota Propinsi.
  4. Berburu, Berburu bagi Masyarakat Adat Dayak Pompakng merupakan bagian dari budaya yang dapat menunjang perekonomian. Hasil buruan dapat dijual dan menambah penghasilan keluarga. Namun, keberadaan budaya berburu pada hakikatnya sangat tergantung pada kondisi alam yang erat kaitannya dengan habitat binatang buruan. Karena habitat binatang buruan ini biasanya lebih senang menghuni hutan lebat/rimba, oleh sebab itu jika hutan tidak terpelihara dengan baik maka dapat dipastikan tradisi berburu ini juga tidak bisa dilakukan. Untuk mengetahui tradisi berburu dapat di lihat pada pembahasan tradisi lisan Masyarakat Adat Dayak Pompakng.
  5. Borageh, Borageh merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam usaha mengatasi perekonomian keluarga bagi Masyarakat Adat Dayak Pompakng. Borageh dalam masyarakat luas lebih identik dengan berjualan di kaki lima yang menjual dagangan yang bersumber dari hasil kebun atau hutan. Borageh pada hakikatnya merupakan mata pencaharian alternatif untuk menambah penghasilan keluarga. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan kegiatan borageh menjadi mata pencaharian pokok, seperti: menoreh, maupun tradisi berladang.



Kadaan Geografis

Geografi dan alam suku Dayak Mayau Pada umumnya di lihat dari kontur muka bumi wilayah kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau Kalimantan barat ini terdiri dari sebagian besar perbukitan, kemudian didominasi oleh rawa-rawa.Wilayah ini dialiri oleh Sungai Sekayam dan dikelilingi oleh perbukitan-perbukitan yang mengurung wilayah Bonti. Hutan hujan tropis masih mendominasi tetapi pada akhir-akhir ini perkebunan sawit mulai merambah masuk dan hutan hujan tropis mulai berkurang di beberapa tempat tak terkecuali di wilayah Ketemenggungan Suku Dayak Mayau, bukan hanya perkebunan kelapa sawit juga akhir-akhir ini HPH dan peti (penambangan tanpa izin )juga ikut serta dalam pembabatan wilayah tersebut.




Read More ->>

Profil Kami




  • Adriyan Andi Nugroho
    XI IPS 3 / 01
    18466

  • Karunia Putri Wijayanti
    XI IPS 3 / 12
    18479

  • Kumaratih Harumingratri
    XI IPS 3 / 14
    18418

  • Nila Chandra
    XI IPS 3 / 19
    18424

  • Pandu Bangkit Saputra
    XI IPS 3 / 21
    18488


Read More ->>

Jumat, 03 Mei 2013

Suku Asmat di Papua

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.  


Kondisi Alam

Wilayah yang mereka tinggali sangat unik.Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-laba sungai.Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk diatas tanah yang lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.

[sunting]Pertentangan

Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang terjadi bahkan hilang resmi dari ingatan.

[sunting]Persebaran

Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

[sunting]Kampung Asmat

Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

[sunting]Ciri Fisik

Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172cm.

[sunting]Mata Pencaharian

Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari< burung< babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.
Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.
Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

[sunting]Makanan Pokok

Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun demikian yang memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka merupakan tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

[sunting]Pola Hidup

Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka

[sunting]Cara Merias Diri

Suku asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh.

[sunting]Ada istiadat suku asmat

Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agam nenek-moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu :
  • Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
  • Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
  • Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
  • Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

[sunting]Unik

Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.

[sunting]Rumah Adat

Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat Pedalaman.Bahkan masih ada juga diantara mereka yang membangun rumah tinggal diatas pohon.

[sunting]Agama

Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran dan praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi Suku Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal Muller,Mengenal Papua,2008,hal.31)

[sunting]Kepercayaan Dasar

Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.
  • Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
  • Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
  • Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
  • Mbismbu (pembuat tiang)
  • Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
  • Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
  • Yamasy pokumbu (upacara perisai)
  • Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

[sunting]Roh-roh dan Kekuatan Magis

  • Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :
1. Setan yang membahayakan hidup Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow                                              


Mitologi

Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.

[sunting]Upacara Adat

Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu

  • Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
  • Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
  • Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
  • Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.                               















Read More ->>